Cari Blog Ini

Jumat, 21 Oktober 2011

KEINDAHAN WISATA DIENG

1.
Pengantar

Dieng berasal dari bahasa sansekerta yaitu "Di" yang berarti tempat yang tinggi atau gunung dan "Hyang" yang berarti kahyangan. Dengan menggabungkan kedua kata tersebut, maka bisa diartikan bahwa "Dieng" merupakan daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.


Fasilitas Wisata




1.

Daya Tarik Wisata

a Objek Wisata Alam

Argo Wisata Tambi

Terhampar luas di lereng gunung Sindoro, dengan ketinggian 1200 sampai 2000 meter di atas permukaan laut. Suhu udara di kawasan ini berkisar antara 15 derajat Celcius sampai 24 derajat Celcius. PT Tambi mengelola tiga unit perkebunan teh yang terletak di desa Bedakah, Tanjungsari serta desa Tambi dengan luas area mencapai 829 Ha yang dilengkapi fasilitas pondok wisata, kolam pemancingan, lapangan tenis, taman bermain dan kebun serta pabrik teh.


Arung Jeram Sungai Serayu
Wisata minat khusus ini memanfaatkan jeram sungai Serayu sepanjang 12 km dari desa Tungguro sampai dengan desa Singomerto. Fasilitas akomodasi, cinderamata dan buah tangan lainnya tersedia di desa sekitar. Lokasi ini pernah dipakai sebagai tempat dilangsungkannya Kejurnas Arung Jeram pada tahun 1997.

Kawah Si Kendang
Kawasan ini berada di tepi Telaga Warna dan kawah ini hanya bisa memunculkan suara bagaikan suara khas Jawa yang disebut "Kendang". Selain kawah ini, masih banyak kawah lain yang dapat disaksikan di sekitar kawasan wisata dataran tinggi Dieng.

Kawah Sikidang
Kawah aktif yang banyak dikunjungi wisatawan dan dapat dilihat dari bibir kawah, terdapat semburan lava dan kepulan asap serta aroma belerang yang khas. Lubang kawah tampak jelas berisi air dan lava berwarna kelabu, yang gemulak dan mendidih, sering berpindah tempat bahkan melompat seperti seekor kidang.

Objek Wisata Mrica
Wisata air in! memanfaatkan bendungan Panglima Besar Soedirman, yang merupakan bendungan terbesar di Asia Tenggara. Fasilitas yang tersedia berupa perahu wisata untuk mengelilingi waduk, arena pemancingan, panggung hiburan dan arena bermain untuk anak yang dilengkapi dengan kereta mini. Lokasi berbukit-bukit dan rimbun dengan pepohonan menambah asri penampilan obyek wisata ini.

Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas
Taman rekreasi ini rmrempunyai fasilitas kolam renang, panggung hiburan, arena bermain anak dan taman satwa serta berbagai tanaman langka. Juga telah menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan nusantara mengingat daya tarik yang ada di taman rekreasi margasatwa Serulingmas cukup memadai.

Telaga Menjer
Telaga ini merupakan telaga alam yang terluas di kabupaten Wonosobo. Lokasinya berada di ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut dengan luas 70 hektar dan kedalaman air mencapai 45 meter. Telaga Menjer terletak di desa Maron kecamatan Garung, berjarak sekitar 12 kilometer sebelah utara kabupaten Wonosobo.

Tuk Bimolukar
Kawasan ini merupakan sebuah mata air dengan pancuran yang terbuat dari batu purba. Menurut cerita, nama Bimolukar adalah tempat sang Bima Sena menukar (melepas) pakaiannya untuk disucikan. Mata air sungai Serayu ini diyakini sebagai mata air yang bisa menjadi obat awet muda.

b. Objek Wisata Sejarah

Kelompok Candi Arjuna
Kelompok candi Hindu ini terdiri atas candi Arjuna, candi Semar, candi Srikandi, candi Puntadewa, dan candi Sembadra. Kelompok candi ini diperkirakan dibangun tidak bersamaan waktunya. Dahulu kala, kelompok candi ini digunakan sebagai tempat pemujaan.

c. Objek Wisata Budaya

Ngruwat Rambut Gembel
Ritual ini merupakan tradisi yang hidup di daerah sekitar kecamatan Kejajar, 17 kilometer sebelah utara kota Wonosobo. Di sekitar daerah ini banyak anak-anak kecil yang berambut gembel, yang menurut cerita merupakan titipan dari Kyai Kolodete. Dan gembel tersebut dianggap "balak" yang harus diruwat, melalui upacara tradisi"Ruwatan". Upacara biasanya dilakukan setelah anak mengajukan permintaan langsung atau jejaluk (dalam bahasa Jawa) kepada orang tuanya. Permintaan yang kadang kala sulit untuk dipenuhi. Anehnya bila upacara tradisi Ruwatan bagi anak gembel tidak dilaksanakan atas permintaannya sendiri, maka sekalipun sudah dicukur akan tumbuh gembel kembali.

Nyadran Suran Masyarakat Desa Pagerejo
Ritual ini hampir sama dengan yang dilaksanakan di dusun Gianti, juga diperingati setiap tanggal 1 bulan Asyuro (bulan Jawa). Dalam ritual ini, masyarakat desa Pagerejo kecamatan Kertek ini melangsungkan upacara mandi di sendang Surodilogo.

Nyadran Suran Masyarakat Dusun Gianti
Ritual ini merupakan upacara memperingati hari jadi dusun Gianti, desa Kadipaten kecamatan Selomerto yang biasanya dilanjutkan dengan Merdi Dusun disertai upacara Tenongan untuk kemudian dilanjutkan pagelaran seni tradisional semalam suntuk. Dusun Gianti terkenal dengan sebutan dusun wisata di kabupaten Wonosobo.

d. Pusat Cinderamata - Pusat Kerajinan Keramik Klampok

Di pusat kerajinan keramik ini, wisatawwan dapat melihat dan membeli berbagai jenis keramik dengan harga yang bervariasi. Motif khas keramik Banjarnegara sebagai daya tarik adalah erbagai bentuknya seperti gajah, asbak, meja, kursi, dan sebagainya. Pemasaran keramik Klampok ini sudah menembus pasar manca negara. Bagi wisatawan yang ingin menyaksikan proses pembuatan keramik dapat menyaksikan langsung ke dapur pembuatan keramik.



2.
Sarana Pendukung

Dieng Plateau Theatre
Pusat interpretasi potensi alam dan budaya kawasan dataran tinggi Dieng yang diberi nama Dieng Plateau Theatre (DPT) dibangun atas prakarsa gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto. Alasannya, karena lereng bukit Sikendil dapat menjadi magnet yang kuat untuk mengembangkan pariwisata di propinsi Jawa Tengah. Diharapkan dengan dibangunnya DPT tersebut, objek wisata lembah Dieng bisa menjadi daerah tujuan wisata Jawa Tengah setelah Candi Borobudur.

DPT sebagai pusat pusat interpretasi polensi alam dan budaya kawasan dataran tinggi Dieng dilengkapi dengam seperangkat peralatan audio visual (film), dan juga tempat duduk pengunjung yang berkapasitas 100 buah kursi. Berfungsi sebagai sarana pendidikan, kebudayaan, pengenalan potensi wisata serta hiburan untuk mengurangi kejenuhan.
Dieng Plateau Theater terletak di lereng bukit Sikendil desa Dieng kecamatan Kejajar, kabupaten Wonosobo, berada di sebelah barat Taman Wisata Telaga Alam Telaga Warna dan Telaga Pengilon serta Goa Jaran, Goa Sumur dan Goa Semar yang dikeramatkan oleh masyarakat.
Selengkapnya...

SEJARAH WONOSOBO

Berdasarkan ceritera rakyat pada sekitar awal abad ke-18, tersebutlah tiga orang pengelana yang masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik, mulai merintis suatu pemukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya Kyai Kolodete berada di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar Kota Wonosobo sekarang ini.Sejak saat itu daerah ini mulai berkembang dan tiga orang tokoh tersebut dianggap sebagai cikal-bakal dari masyarakat Wonosobo yang dikenal sekarang. Makin lama daerah ini semakin berkembang sehingga semakin ramai. Di kemudian hari dikenal beberapa nama tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Selomanik. Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduto sebagai penguasa Wonosobo dengan pusat kekuasaan di Kalilusi Pecekelan yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok (Wonosobo) atau Plobangan sekarang ini. Seorang cucu Kyai Karim yang dikenal dengan nama Ki Singowedono juga disebut sebagai salah seorang penguasa di Wonosobo. Beliau mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Kraton Mataram, serta diangkat menjadi penguasa daerah tersebut. Namanya kemudian berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa itu pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia, Tumenggung Jogonegoro dimakarnkan di Desa Pakuncen.

Pada awat abad ke-17 agama Islam sudah mulai berkembang luas di daerah Wonosobo. Seorang tokoh penyebar agama Islam yang sangat dikenal pada masa itu adalah Kyai Asmarasufi, yang dikenal pula sebagai menantu Ki Wiroduto salah seorana penguasa di Wonosoho Kyai Asmarasufi yang mendirikan Masjid Dukuh Bendosari dipercaya sebagai cikal-bakal atau tokoh yang kemudian menurunkan pada ulama Islam dan pemilik pondok pesantren yang ada di Wonosobo pada masa berikutnya seperti Kyai Ali Bendosari, Kyai Syukur Sholeh, Kyai Mansur Krakal, Kyai Abdulfatah Tegalgot, Kyai Soleh Pencil, Kyai As'ari, Kyai Abdul Fakih, Kyai Muntaha dan Kyai Hasbullah.

Demikianlah, dari hari ke hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, waktu berjalan terus, keadaan Wonosobo makin lama makin berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban manusia. Dan selanjutnya pada masa antara tahun 1825 - 1830 atau tepatnya pada masa Perang Diponegoro, Wonosobo merupakan satah satu medan pertempuran yang penting dan bersejarah. Daerah ini adalah salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, dengan kondisi alam yang menguntungkan serta dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap perjuangan tersebut. Beberapa medan pertempuran yang menandai perjuang pasukan pendukung Pangeran Diponegoro tersebar di Gowong, Ledok, Sapuran, Plunjaran, Kertek dan sebagainya.

Di samping itu dikenal pula beberapa tokoh penting di Wonosobo yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Imam Misbach atau di kemudian hari dikenal dengan nama Tumenggung Kartosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Ki Muhammad Ngarpah. Nama yang terakhir ini adalah tokoh penting yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro di Wonosobo. Walaupun perjuangan Muhammad Ngarpah tidak terbatas di daerah Wonosobo saja melainkan juga di daerah Purworejo, Magelang, Klaten dan sebagainya, akan tetapi keberadaan beliau sangat penting dalam sejarah Wonosobo. Muhammad Ngarpah bersama-sama Mulyosentiko memimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro menghadang pasukan Belanda di Legorok dekat Pisangan Yogyakarta. Dalam pertempuran di Legorok tersebut Ki Muhammad Ngarpah bersama-sama Ki Mulyosentiko beserta pasukannya berhasil menewaskan ratusan tentara Belanda, termasuk empat orang tentara Eropa. Mereka juga berhasil mengambil emas lantakan senilai 28,00 gulden pada saat itu. Pada pencegatan di Legorok, Belanda mengatami kekalahan sehingga hanya beberapa orang saja yang dapat melarikan diri.

Menurut catatan sejarah, kemenangan Ki Muhammad Ngarpah serta para pendukungnya itu adalah kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro. Maka berdasarkan keberhasilan tersebut Pangeran Diponegoro memberi nama Setjonegoro kepada Muhammad Ngarpah dan nama Kertonegoro kepada Mulyosentiko. Selanjutnya Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro. Pada masa-masa berikutnya Setjonegoro terus aktif mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, bersama-sama dengan tokoh pendukung lainnya seperti Ki Muhammad Bahrawi atau Muhammad Ngusman Libasah, Muhammad Salim, Ngabdul Latif dan Kyai Ngabdul Radap.

Dalam pertempuran di Ledok dan sekitamya,Tumenggung Setjonegoro mengerahkan 100 orang prajurit yang dipimpin oleh Mas Tumenggung Joponawang untuk menghadapi serbuan Belanda. Tumenggung Setjonegoro juga pemah mendapat tugas dari Pangeran Diponegoro untuk mengepung benteng Belanda di Bagelen. Dalam pertempuran di daerah Kedu, pemimpin pasukan Belanda bemama Letnan De Bruijn terbunuh. Selain itu Setjonegoro dan Kertonegoro juga terlibat dalam pertempuran di daerah Delanggu. Mereka memimpin pasukan ke daerah Lanjur untuk menghadang pasukan Belanda yang datang dari Klaten.

Eksistensi kekuasaan Setjonegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan Kota Wonosobo sekarang ini.
Dari hasil Seminar Hari Jadi Wonosobo pada tanggal 2 April 1996 (yang dihadiri oleh Tim Peneliti Hari jadi Wonosobo dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, sesepuh dan pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, pimpinan DPRD dan pimpinan komisi serta instansi di Wonosobo), disepakati bahwa momentum Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825, dan hal ini telah ditetapkan menjadi Perda dalam Sidang Pleno DPRD Kabupaten Wonosobo tanggal 11 Juli 1994. Dipilihnya tanggal tersebut erat kaitannya dengan peristiwa kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Ki Muhammad Ngarpah atau Tumenggung Setjonegoro di Legorok. Walaupun serangan yang berhasil itu tidak terjadi di wilayah Wonosobo, akan tetapi peristiwa itulah yang mengangkat karir Muhammad Ngarpah sehingga diangkat menjadi penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro. Adapun penguasa atau kepala pemerintahan Kabupaten Wonosobo dari tahun 1825 sampai sekarang adalah sebagai berikut :

No NAMA PERIODE
1. Tumenggung SETJONEGORO 1825 – 1832
2. Tumenggung R. MANGOENKOESOEMO 1832 – 1857
3. Tumenggung R. KERTONEGORO 1857 – 1863
4. Tumenggung TJOKROHADISOERDJO 1863 – 1869
5. Tumengung SOERJOHADIKOESOEMO 1869 – 1898
6. R. Tumenggung SOERJOHADINEGORO 1998 – 1919
7. Adipati R.A. SOSROHADIPRODJO 1920 – 1944
8. Bupati R. SINGGIH HADIPOERA 1944 – 1946
9. Bupati R. SOEMINDRO 1946 – 1950
10. Bupati R. KADRI 1950 – 1954
11. Bupati R. OEMAR SOERJOKOESOEMO 1955 – .
12. Bupati R. SANGIDI HADISOETIRTO 1955 – 1957
13. Kepala Daerah RAPINGOEN WIMBOHADI SOEDJONO 1957 – 1959
14. Bupati R. WIBOWO HELLY 1960 – 1967
15. Bupati Kepala Daerah Drs. DARODJAT A.N.S. 1967 – 1974
16. Pj. Bupati Kepala Daerah R. MARDJABAN 1974 – 1975
17. Bupati Kepala Daerah Drs. SOEKANTO 1975 – 1985
18. Bupati Kepala Daerah Drs. POEDJIHARDJO 1985 – 1990
19. Bupati Kepala Daerah Drs. H. SOEMADI 1990 – 1995
20. Bupati Kepala Daerah Drs. H. MARGONO 1995 – 2000
21. Bupati Drs. TRIMAWAN NUGROHADI 2000 - 2005
22. Bupati Drs. H. ABDUL KHOLIQ ARIF 2005 - sekarang

Ternyata, semangat perjuangan pemimpin ini secara normatif dapat dijadikan idola, inspirasi dan kebanggaan daerah, sehingga akan bermakna dan berguna bagi pembangunan Wonosobo sekarang dan di masa mendatang
Selengkapnya...

Bumi Khayangan Dieng

Dataran Dieng punya sebutan yang lain lebih di kenal dengan
nama Dieng Plateu, dalam Volcanology sering di sebut Dieng Volcano
Complex dengan ketinggian 2.093 mdpl..

Dingin… lah, jadi kalau punya sleeping Bag, bawa… kalau nggak Punya,
bawa Jacket, kaos kaki, dan kupluk.. biar hangat..

apa yang bisa di visit:
sejarah, dieng terkenal dengan sejarah kerajaan Kalingga, juga terkenal
dengan Volcano Complex, dalam trip ini, kita akan berkunjung ke beberapa
Candi diantara nya Candi Arjuna, Candi Gatot Kaca, Candi Bima.. dan kita
juga akan visit Kawah Cikidang, Kawah sileri, Telaga Warna dengan warna
merah, hijau, biru, putih, dan dieng Theater. tentu jangan lewatkan
untuk Intip Sunrise…Dataran tinggi Dieng adalah kawasan yang terletak di tengah-tengah Pulau Jawa (seumpama ditarik garis diagonal pada peta Pulau Jawa). Lebih lanjut pada tulisan ini Dataran Tinggi Dieng akan disebut dengan Dieng saja. Dieng adalah sebuah tempat yang menakjubkan dan kaya akan beragam keunikan budaya. Berikut inilah kisahnya.

Dieng berada dalam 5 wilayah kabupaten yaitu: Batang, Kendal, Temanggung, Wonosobo dan Bajarnegara.
Sedang letak astronomis ada pada sekitar 7,20º Lintang Selatan dan 109,92 º Bujur Timur dan pada ketinggian ketinggian ± 2.095m dpa. Mungkin kalau pada Google Earth bisa dimasukkan Latitude: -7,20 dan Longitude: +109,92.
Nama Dieng (konon) berasal dari bahasa Indonesia Purba (sebelum bahasa Kawi) atau mungkin bahasa Sunda Kuna dan bukan bahasa Sansekerta, “Di” dan “Hyang” yang berarti Kediaman Para Dewa ( The Gods Abode). Dari kawasan Dieng ini, sumber mata air Sungai Serayu berada. Sungai Serayu adalah sungai yang mengalir di daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan bermuara di Cilacap. Sumber mata air ini disebut dengan Tuk Bimo Lukar (Mata-air Bimo Lukar). Tuk Bimo Lukar selain sebagai mata air Sungai Serayu konon juga dipercayai dapat membuat awet muda.
Candi-candi di Dieng dipercaya sebagai tanda awal peradaban Hindu di Pulau Jawa pada masa Sanjaya pada abad ke-8. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gugusan candi di Dieng yang konon untuk memuja Dewa Syiwa.Candi-candi tersebut antara lain: Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, Candi Gatot Kaca. Sedangkan untuk penamaan candi-candi itu sendiri dipercaya baru dimulai pada abad ke-19. Hal ini ditunjukkan dengan adanya relief-relief yang ada pada candi tersebut. Misalnya pada Candi Srikandi, relief yang terlukis justru merupakan penggambaran dari wujud Dewa Syiwa.Candi-candi tersebut dibangun dengan menggunakan konstruksi batu Andesit yang berasal dari Gunung Pakuwaja yang berada di Selatan komplek Candi Dieng.
Dieng terbentuk dari gunung api tua yang mengalami penurunan drastis (dislokasi), oleh patahan arah barat laut dan tenggara. Gunung api tua itu adalah Gunung Prau. Pada bagian yang ambles itu muncul gunung-gunung kecil yaitu: Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajahmungkur dan Gunung Pakuwaja.
Beberapa gunung api masih aktif dengan karakteristik yang khas. Magma yang timbul tidak terlalu kuat tidak seperti pada Gunung Merapi. Sedangkan letupan-letupan yang terjadi adalah karena tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan munculnya beberapa gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena ini antara lain dapat dilihat pada Kawah Sikidang atau Kawah Candradimuka .
Untuk antisipasi terjadinya bahaya vulkanik Direktorat Vulkanologi dan MITIGASI Bencana Geologi secara terus menerus memantau aktifitas vulkanik di Pegunungan Dieng.Dieng memang tempat yang elok dan damai serta menyimpan sejuta tantangan gairah para ilmuwan untuk melakukan penelitian.
Selengkapnya...

Minggu, 16 Oktober 2011

wisata dieng banjarnegara dan wonosobo




banyak yang mengira kalau dataran tinggi Dieng tsb ada di kota Wonosobo. Anggapan tsb tdk sepenuhnya salah karena memang kebetulan dataran tinggi Dieng memang terbagi menjadi dua (wilayah Banjarnegara dan Wonosobo). Dataran tinggi Dieng merupakan daerah yang terletak pada ketinggian sekitar 2.093 m di atas permukaan laut dan memiliki temperatur berkisar 15—20°C di siang hari dan 10°C di malam hari. Bahkan, suhu udara terkadang dapat mencapai 0°C di pagi hari. Oleh karena itulah Dataran tinggi Dieng saya rekomendasikan terutama untuk rekan-rekan yang ingin bulan madu.
Dataran tinggi Dieng secara umum memiliki dua potensi wisata yang berbeda, yaitu potensi wisata alam dan wisata sejarah.

wisata yang ada di daerah dieng:

telaga balaikumbang, Telaga Medada, Telaga Siwi dan Telaga Dringa

Kawah Sikidang, kawah Sileri dan kawah Candradimuka





Selengkapnya...

SEJARAH INFORMASI SEKITAR DATARAN TINGGI DIENG

Kompleks pegunungan di Provinsi Jawa Tengah bagian tengah; berjajar di sebelah utara Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Meliputi: G. Sumbing (3.371 m), G. Sundoro (3.151 m), G. Perahu (2.565 m), G. Bismo (2.365 m) dan 0. Rogojembangan (2.177 m). Nama Dieng berasal dan dihyang, ialah kayangan. Di atas dataran Dieng masih ada beberapa candi sederhana. Dahulu merupakan tempat ziarah raja-raja di Jawa Tengah yang benagama Hindu; dan daerah Bawang di Pekalongan ada tangga ke Dieng. Seluruh kompleks Pegunungan Dieng telah berkembang men] adi daerah pariwisata: plato Dieng, di sebelah selatan G. Perahu di kawasan Kabupaten Wonosobo dan Desa Bandongan di kaki 0. Sumbing di kawasan Kabupaten Magelang. Selain menyajikan keindahan alam yang khas, Dieng juga menyimpan peninggalan-peninggalan sejarah; gejala-gejala postvulkanisme mengundang hasrat peneliti sejarah untuk menggali tabir sejarah masa lampau, sedangkan ahli-ahli geologi dapat mengadakan penelitian dan dapat mengintroduksi teknik mutakhir untuk memanfaatkan sumber daya yang terdapat di sana. Fasilitas angkutan melalui Wonosobo ke dan dan Dieng lancar. Plato Dieng rata-rata berketinggian 2.050 m di permukaan laut dikelilingi bukit-bukit; suhu rata-rata berkisar antara 13° s/d 17°C. Ada 4 telaga/danau vulkanik yaitu Telaga Warna, Telaga Pangilon, Sitenus, dan Balekambang. Gejala-gejala postvulkanisme (adanya solfatar, mofet, fumarola) dapat dilihat di kawah si Kidang, Si Len dan Condrodimuko. Sumber geotermal (panas bumi) Dieng telah dibor pada pertengahan 1972 pada kedalaman 183 m; suhu yang tercatat lebih dan 100°; ditaksir bertekanan 2 atmosfer; diperkirakan akan mendatangkan tenaga listnik tidak kurang dan 10 MW. 1928, ahli-ahli dari belanda telah melakukan pemboran percobaan di tempat yang sama pada kedalaman 100 m, suhu tercatat 100°C. Peninggalan-peninggalan sejarah berbentuk candi-candi berjumlah 7 buah, diberi nama wayang. Hasil pertanian: kubis, kacang babi, tembakau, kentang, gandum, feldrum (tanaman bahan baku obat nyamuk), dan jamur merang. Selengkapnya...